Bingung Milih Jurusan (untuk Pelajar)
Sebuah survei menunjukkan bahwa salah satu sumber
kegelisahan terbesar para siswa di Sekolah Menengah adalah soal pemilihan
jurusan di Perguruan Tinggi. Mereka bingung menentukan pilihan. Mereka
ragu-ragu jurusan apa yang akan dipilihnya kelak. Bahkan konon, sumber stres
terbesar para siswa yang mampu secara ekonomi untuk melanjutkan kuliah adalah
pemilihan jurusan, bukan ujian akhir sekolah. Dalam sebuah survei, ratusan
siswa Sekolah Menengah ditanya, “Apakah yakin akan lulus sekolah?” Mereka
menjawab “Yakin!” Tanpa ragu mereka menyatakan kalau mereka pasti bisa lulus.
Hasil uji coba (try out) yang mereka lakukan sendiri mengindikasikan
kalau mereka memang akan bisa lulus. Akan tetapi saat ditanya, “Apa jurusan
yang akan kamu pilih saat kuliah kelak?” Sebagian besar belum bisa menjawab.
Hanya kurang dari 5% siswa yang sudah mampu menjawab dengan tegas dan penuh
keyakinan. Selebihnya ragu-ragu menjawab atau bahkan tidak menjawab sama
sekali.
Mengapa memilih jurusan bisa memberikan stres
yang besar bagi para siswa, bahkan melebihi ujian akhir sekolah? Sebab,
rupa-rupanya para siswa itu sadar benar kalau jurusan yang akan mereka ambil
merupakan penentu masa depannya. Mereka tahu bahwa nama jurusan yang mereka
tuliskan di formulir pendaftaran masuk Perguruan Tinggi akan menjadi jalan
hidup mereka selanjutnya sampai tutup usia. Mereka menyadari bahwa memilih
jurusan sama dengan memilih kehidupan, bukan hanya sekedar memilih tempat
sekolah belaka. Mereka juga sadar benar, bahwa jika merasa salah jurusan
setelah kuliah, maka biaya yang harus dipikulnya sangat besar: kuliah yang
kurang berhasil, hati yang tidak bahagia, biaya yang terbuang sia-sia, dan
waktu yang tak bisa digantikan. Syukur kalau masih bisa pindah jurusan;
bagaimana kalau pindah jurusan tidak mungkin dilakukan karena sudah sedemikian
besar biaya yang dikeluarkan?
Kebingungan dan keragu-raguan saat memilih
jurusan pada umumnya bersumber dari tiga sebab.
Pertama, kurang mengenal
jurusan-jurusan di Perguruan Tinggi dan prospektusnya. Sebagian besar siswa
hanya mengenal sedikit saja jurusan-jurusan yang ada di Perguruan Tinggi.
Mereka hanya tahu jurusan-jurusan yang paling populer saja. Akibatnya, pilihan
yang bisa mereka buat pun sangat terbatas. Maklum, mereka tidak banyak tahu
pilihan-pilihan yang tersedia bagi mereka. Lantas mereka pun kuatir berat
karena mereka tahu bahwa saingan mereka tidak sedikit. “Wah jangan-jangan aku
nggak bisa diterima nih. Saingannya banyak.” ujar mereka dalam cemas.
Kedua, mereka kurang mengenal
diri mereka sendiri. Mereka tidak tahu apa yang cocok bagi mereka. Sebagian
hanya ikut-ikutan teman, mengikuti saran orangtua, atau melihat tren, tanpa
mereka tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan sendiri. Alhasil mereka
tertarik sana-sini tapi malah jadi kebingungan. Itu persis sama dengan ketika
berencana untuk membeli baju dan pergi ke mall, tapi sampai di Mall malah jadi
bingung sendiri karena bajunya bagus-bagus dan tertarik dengan semuanya.
Alhasil mereka tidak tahu mana jurusan-jurusan yang sesuai untuk diri mereka.
Di sisi lain, mereka berpacu dengan waktu. Mau tidak mau mereka harus
menentukan pilihan. Tak heran jika mereka sangat digelisahkan oleh hal
tersebut.
Ketiga, kekuatiran terhadap
kemampuan ekonomi keluarga menyokong biaya saat kuliah. Hal ini banyak dialami
oleh mereka yang berasal dari kalangan keluarga yang kondisi ekonominya
menengah ke bawah. Pilihan mereka terbatas karena jurusan yang diambilnya harus
yang tidak berbiaya mahal. Padahal, beberapa jurusan diketahui memerlukan biaya
besar. So, mereka tidak bisa memilih jurusan-jurusan mahal. Bahkan, sebagian
besar siswa di Indonesia tidak tahu apakah mereka bisa kuliah atau
tidak. Sangat banyak siswa yang saat hampir lulus diajak bicara
khusus oleh orangtuanya hanya untuk diberitahu, “Nak, kami tidak bisa
menguliahkanmu. Kami tidak punya biaya.” Jadi kamu adalah orang-orang yang
sangat beruntung jika orangtuamu bisa menjamin kamu kuliah. Ingatlah bahwa
sebagian besar siswa yang lulus Sekolah Menengah di Indonesia tidak bisa kuliah
karena tidak ada biaya.
PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN YANG UMUM DIAMBIL SAAT MEMILIH JURUSAN
Tahu atau tidak tahu ragam
jenis jurusan-jurusan yang ada berikut prospektusnya (peluang karirnya); paham
atau tidak paham dengan dirinya; pada akhirnya semua orang yang akan kuliah
mesti memilih jurusannya. Berikut adalah pertimbangan-pertimbangan yang umumnya
diambil ketika memilih jurusan:
1. Teman
Cukup banyak orang yang
memilih jurusannya karena teman baiknya memilih jurusan itu. “Tergantung
pilihan Ika, Ma!” jawab Novi saat ditanya Mamanya jurusan apa yang akan dipilih
kelak ketika kuliah. Terang saja Mamanya Novi kaget. Ketika diselusur lebih
jauh, ketahuanlah kalau Novi merasa kuatir kelak harus menjalin pertemanan baru
dengan orang-orang yang sama sekali asing. Jadi, Novi merasa lebih aman dan nyaman
jika kuliah satu jurusan dengan teman terbaiknya di SMA karena berarti sudah
punya teman saat masuk kuliah.
Nah, apakah kamu berpikir seperti Novi? Faktanya
banyak sekali orang yang berpikir seperti Novi. Satu-satunya alasan mereka
memilih sebuah jurusan adalah karena teman baiknya memilih jurusan itu.
Sebagian berkelit beralasan demi solidaritas dengan teman. Salah. Bukan itu
alasan sebenarnya. Yang sesungguhnya, mereka cari rasa aman. Langkah tersebut
dilakukan sebagai antisipasi agar mengurangi stres saat masuk kuliah di
tempat baru. Adanya teman di tempat baru akan membuat mereka lebih percaya
diri; kecemasan mereka berkurang.
2.
Hanya tahu informasi jurusan tertentu
Sebagian orang memilih jurusan
karena hanya tahu informasi jurusan itu. Faktanya, sebagian besar siswa hanya
mengenal jurusan-jurusan melalui profesi-profesi yang pernah didengar atau
ditemuinya, seperti Kedokteran dan Keperawatan (karena dokter dan perawat biasa
ditemui di Rumah Sakit), Hukum (karena pengacara sering muncul di media massa),
dan seterusnya. Tidak sedikit pula yang tahu jurusan-jurusan di Perguruan
Tinggi karena terkait dengan profesi orangtua mereka. Bukan hal aneh bila
anak-anak mengikuti jurusan yang dulunya dipilih oleh orangtua. Sebagai misal
Eka dan Dido. Eka berniat masuk jurusan psikologi karena ibunya adalah seorang
psikolog. Dido pun berniat masuk jurusan akuntansi karena ayahnya dulu kuliah
di akuntansi. Tidak heran jika sebagian besar siswa hanya mampu menyebutkan
tidak lebih dari 20 jurusan di Perguruan Tinggi. Padahal, jurusan di Perguruan
Tinggi sangat beragam. Ada ratusan jurusan yang tersedia yang bisa dipilih.
Jika hanya tahu 20 jurusan, lalu bagaimana dengan
80% sisanya? Mengapa mereka tidak tahu? Sederhana saja, karena mereka tidak mau
tahu. Maklum, jurusan-jurusan itu bukanlah jurusan-jurusan yang familiar. Dalam
bahasa gaul, “bukan jurusan beken.” Oleh karena kurang beken, maka mereka pun
tidak tertarik untuk mencari informasi lebih lanjut. Akibatnya, mereka pun
tidak tahu apa-apa. Ujung-ujungnya jurusan-jurusan yang kurang beken itu pun
terlupakan. Padahal, jurusan-jurusan yang sering dianggap kurang beken justru
seringkali merupakan jurusan yang paling prospektif di masa depan. Mereka hanya
tidak tahu.
3. Pertimbangan
kemudahan
Alasan lain yang juga banyak
dipertimbangkan oleh banyak siswa ketika memilih jurusan adalah kegampangan
kuliah. Ukuran yang digunakan adalah pelajaran “berat” saat SMA, seperti
matematika, fisika, atau kimia. Mereka mengira bahwa jurusan-jurusan yang tidak
ada pelajaran “berat”nya akan menjanjikan kemudahan. Jadilah mereka memilih
jurusan-jurusan tanpa pelajaran berat itu. Inilah yang sering dijadikan
pertimbangan ketika masuk jurusan-jurusan sosial. “Nggak ada matematikannya!”
tutur Edo mantap ketika memilih jurusan Sastra Inggris.
4. Pertimbangan
finansial
Kuliah memerlukan biaya. Namanya
biaya mempunyai sumber. Umumnya sumber biaya kuliah adalah orangtua. Oleh
karena itu, mau tidak mau pilihan jurusan yang diambil disesuaikan dengan
kondisi ekonomi orangtua. Banyak siswa yang tidak bisa memilih jurusan yang
diincarnya gara-gara secara finansial mereka tidak sanggup. Maklum, sebagian
jurusan memerlukan biaya kuliah lebih mahal di bandingkan jurusan lainnya. Oleh
sebab itu, banyak siswa yang memilih jurusan-jurusan yang berbiaya murah plus
murah juga dalam biaya hidup.
5. Pertimbangan
karir dan prospek ekonomi di masa depan
“Aku pengin jadi pengacara.
Bayarannya besar. Bisa terkenal. Kalau ada apa-apa pasti polisi nggak
berani berbuat macam-macam,” tutur Bayu saat di tanya mengapa dia memilih
jurusan hukum. Tika lain lagi, “Aku milih farmasi karena bayarannya gede.
Langka. Gampang dapat kerjanya.” Begitupun dengan Edo, “Akuntansi dong, biar
kerja di bank yang duitnya gede.”
Begitulah yang banyak dilakukan orang ketika
memilih jurusan, yakni mempertimbangkan karir di masa depan. Mereka meraba-raba
prospek karir masa depan dari setiap jurusan. Akibatnya ada jurusan-jurusan
yang dianggap basah karena menjanjikan karir yang bagus setelah lulus, tapi ada
juga jurusan-jurusan yang dianggap kering karena tidak jelas menjanjikan karir
seperti apa usai lulus kuliah. Jurusan-jurusan yang dianggap favorit biasanya
adalah jurusan yang dipandang memberikan janji karir menggiurkan, terutama
secara finansial. Bahkan ada banyak orang yang sengaja datang ke psikolog bukan
untuk tahu potensi terbesarnya, tapi hanya untuk bertanya, “Apa ya
jurusan-jurusan yang paling banyak menghasilkan uang setelah kelak lulus?”
6. Pertimbangan
cinta
Mirip dengan faktor teman, faktor
asmara rupanya kerap menjadi pertimbangan seseorang memilih jurusan. Banyak
orang yang memilih sebuah jurusan karena orang yang dicintainya (pacarnya)
memilih jurusan itu atau menyarankan jurusan itu, atau jurusan itu ada di
Fakultas yang sama dengan pilihan atau tempat kuliah pacar. Padahal, fakta
membuktikan kalau pacar saat SMP atau saat SMA sangat jarang yang bisa
berlanjut hingga menikah. Sebagian besar putus di tengah jalan. Masalahnya,
saat jatuh cinta, mana mereka mau tahu dengan kenyataan itu. Mereka yang sedang
kasmaran hanya bisa memikirkan bagaimana caranya agar dekat-dekat dengan
pacarnya; seterusnya, selamanya.
7. Pertimbangan
orangtua
Orangtua seringkali dominan dalam
menentukan jurusan yang dipilih anaknya. Selera orangtua yang menentukan jurusan
yang diambil anaknya. Pada sebagian kasus, biasanya orangtua menghendaki
anaknya masuk jurusan yang sama dengan dirinya dulu sewaktu kuliah. Orangtua
yang dokter menginginkan anaknya masuk kedokteran. Orangtua yang pengacara
menginginkan anaknya masuk jurusan hukum. Orangtua yang arsitek ingin anaknya
masuk arsitek juga. Kabar baiknya, jika orangtua benar-benar merasa cocok dan
pas di sebuah jurusan dan mengharapkan anaknya mengikuti jejaknya, ada
kemungkinan si anak akan berhasil. Mengapa? Kamu pasti tahu dengan pepatah,
“Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga.” Artinya, biasanya bakat, minat dan
kepribadian anak tidak jauh-jauh dari orangtuanya. Jadi, apa yang cocok dengan
orangtua seringkali juga cocok untuk anaknya. Masalahnya, tidak semua anak mirip
orangtuanya. Antara anak dan orangtua sering terdapat perbedaan karakter yang
cukup jauh. Jadi, jurusan yang cocok untuk orangtua tidak selalu cocok untuk
anaknya.
Pertimbangan berat orangtua memilihkan jurusan untuk anaknya biasanya
berkutat di persoalan prospek karir di masa depan. Mereka jeli melihat
karir-karir yang sekiranya bakal memberikan jaminan karir bagus untuk anaknya.
Jadi, sang anak pun diminta memilih jurusan-jurusan itu. Sebab, bagaimanapun
namanya orangtua selalu menginginkan anaknya memiliki kehidupan yang
berhasil. Mereka cemas jika anaknya kelak tidak memiliki kehidupan yang
sukses. Mereka takut hidup anaknya terlunta-lunta. Mereka ingin anaknya hidup
berkecukupan. Para orangtua biasanya berprinsip: “Tidak apa-apa kami hidup susah
demi anak. Yang penting anak-anak kami kuliah di tempat bagus agar kelak
memiliki kehidupan lebih baik ketimbang kami.” Nah, mengerti bukan, mengapa
para orangtua ingin agar anaknya mengambil jurusan yang lebih memberikan
prospek karir cerah di masa depan?
8. Perlawanan
atau kemandirian
Sebagian orang memilih jurusan
dengan tujuan untuk melakukan perlawanan terhadap orangtua. Mereka sengaja
memilih jurusan yang tidak dikehendaki orangtua dan kuliah di Perguruan Tinggi
yang juga tidak diinginkan orangtua. Mereka ingin menunjukkan kemandiriannya.
Apabila kemudian orangtua justru mendukung pilihan jurusannya, mereka justru
beralih minat ke jurusan lainnya. Mereka berprinsip: “Jurusan apapun bagus
untukku, asalkan bukan jurusan yang dimaui orangtuaku.” Jadi, pertimbangan
mereka semata-mata agar bertentangan dengan kehendak orangtua. Biasanya, hal
tersebut terjadi pada orang-orang yang bermasalah dengan orangtuanya dan
menuduh orangtua sebagai sumber dari semua masalahnya. Mereka pun menentang
orangtua habis-habisan. Dengan gagah mereka memproklamasikan diri untuk tidak
mengikuti apa pun kemauan atau pertimbangan orangtua. Mereka bilang: “Ini
hidupku. Jangan campuri!”
9. Ketertarikan
sesaat
Suatu ketika, serombongan mahasiswa dari jurusan X
dari sebuah Universitas datang ke sekolah. Mereka menceritakan berbagai macam
tentang jurusan itu; cara masuknya, hal-hal yang menarik dari sana, hingga
prospek kerjanya di masa depan. Pada saat kelulusan, puluhan siswa di sekolah
itu berbondong-bondong mendaftar di jurusan X. Dari sisi para mahasiswa yang
berorasi itu, fenomena berbondong-bondongnya siswa mendaftar merupakan
keberhasilan misi. Pertanyaannya: apa yang terjadi dengan para siswa itu?
Jawabnya simpel: mereka tergoda.
Agak sedikit mengejutkan bahwa pertimbangan
memilih jurusan yang sedemikian krusial itu ternyata hanya berlandaskan rasa
ketergodaan sesaat. Proses psikologis yang mendasarinya tidak jauh berbeda
dengan penjual baju yang menggembor-gemborkan kehebatan suatu produk, lantas
kamu tertarik dan membelinya. Saat ada penjual lain yang lebih hebat
dalam merayu, kamu pun tertarik lagi dan kembali membelinya. Ketika datang
penjual lainnya dengan gaya membujuk yang lebih canggih, lagi-lagi kamu
membelinya.
Sumber ketergodaan tidak melulu orasi langsung dari
seseorang yang berasal dari jurusan. Lebih sering, ketergodaan itu datang dari
bacaan-bacaan. Membaca buku X tentang kisah jurusan Y, dia tertarik jurusan Y.
Membaca kisah orang berhasil dari jurusan K, dia tertarik jurusan K.
Demikian seterusnya. Jurusan yang paling menimbulkan rasa tergoda terdalam
adalah jurusan yang akan diambil.
Terkadang, ketergodaan sesaat itu memang tidak
membawa efek negatif karena ternyata jurusan itu yang memang paling pas untuk
dirinya. Akan tetapi, sering juga kurang pas karena sebenarnya itu bukan
jurusan yang sesuai untuknya.
10. Pertimbangan
kecocokan
Pertimbangan berikutnya adalah
pertimbangan kecocokan pribadi; baik dari sisi minat, nilai-nilai
pribadi, bakat, kepribadian maupun latar belakang keluarga. Mula-mula dicari
tahu profil pribadinya seperti apa. Lantas, dipilihlah jurusan terbaik
berdasarkan karakter pribadinya itu, plus disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan diri yang dikombinasi dengan pertimbangan prospek karir. Bimbingan
karir semacam itulah yang biasanya dilakukan oleh para konselor karir.
Nah, pertimbangan apa yang kamu miliki
Komentar